Rabu, 20 Juni 2012

History Of Blingsatan Band




Blingsatan, Bertahan karena Lawan Arus Musik

Empat tahun dilalui Band Blingsatan dengan berbagai pergolakan. Kini, mereka dapat tempat.

Senin, 17 Mei 2010, 13:19 WIB
SURABAYA POST - Blingsatan terbentuk berawal dari bubarnya Band Karpet yang eksis selama 10 tahun (1994-2004). Sukses mengeluarkan satu album Indie bertajuk Karpet dan satu album major di bawah bendera EMI Record (Disvakum), para personel memutuskan memilih jalan masing-masing.

Band-band baru kemudian muncul dengan dimotori mantan personel Karpet. Termasuk Blingsatan yang didirikan basis Karpet, Arief, bersama Amir, sang penggebuk drum.

Mereka mendirikan Blingsatan pada Agustus 2005 bersama Dave. Namun Dave tidak ikut membesarkan band baru ini dan memutuskan bergabung dengan Asia Line, home band Hard Rock Café Jakarta.

Posisi Dave kemudian digantikan Zack yang baru pulang dari Amerika Serikat. Formasi ini langsung merilis album Indie perdana bertitel Streetrock.  
Nama itu dipilih sebagai cerminan genre musik yang dicetuskan oleh arek-arek Blingsatan, yakni rocker jalanan metropolitan.

Bertahan sebagai band rock Indie dengan aliran yang menyimpang dari mainstream bukanlah sesuatu yang mudah bagi Blingsatan. Empat tahun mereka lalui dengan berbagai pergolakan. Mulai dari penolakan audiens, caci maki khalayak hingga berurusan dengan kepolisian karena terjadi keributan saat konser.

“Kata jancuk selalu terucap tiap kali kami manggung. Mungkin inilah yang tidak bisa diterima audiens selain aliran musik yang tidak familiar di telinga,” kata Arief, vokalis sekaligus basis Blingsatan.

Arief menjelaskan, aliran musik Blingsatan memang tidak umum untuk sebuah band rock di Indonesia. Band ini mengakulturasikan aliran emo rock dan melodic punk dengan melodi nyanyian lagu yang sangat lantang dan keras.

Emo rock merupakan aliran musik rock yang memiliki karakter permainan melodis dan ekspresif.

“Mungkin di luar negeri, seperti Amerika Serikat atau Inggris, emo rock sudah biasa. Tapi di Indonesia, belum banyak band yang memilih aliran ini,” kata Arief.

Sebagai band di luar mainstream, tidak mudah bagi Blingsatan untuk bisa merangkul pasar. Apalagi mereka tidak bernaung di bawah bendera major label. Pasar pun ditembus melalui penampilan di panggung-panggung acara komunitas, pentas seni di berbagai kota hingga acara-acara di televisi nasional.

Pelan-pelan, pasar pun bisa menerima. Bahkan band ini mulai mendapat tempat para kawula muda  Surabaya.

Album pertama yang dibuat sebanyak dua ribu kopi pada 2005 lalu ludes terjual, sementara permintaan masih terus mengalir hingga kini. Penggemar fanatik yang terbangun melalui jejaring sosial makin banyak mengekor.

Meski sudah diterima pasar dan punya banyak penggemar, Blingsatan tetap konsisten dengan aliran musiknya. Mereka tidak berusaha mengubah warna musik maupun aliran hanya untuk mengikuti pasar yang ada dan memperbanyak penjualan album.

Tawaran dikontrak major label juga banyak ditolak. Pasalnya, mereka tidak menginginkan campur tangan label dalam bermusik maupun berkarya. “Jika label sudah ikut campur, apa yang kami pertahankan selama ini bisa berubah. Bahkan aliran musik kami malah bisa berubah mengikuti selera umum di pasar,” kata Arief.

Manajer Blingsatan, Rizal, menambahkan dalam promo album pun mereka juga berada di luar jalur. Jika band-band baru ramai-ramai berebut tampil di acara musik di televisi, mereka lebih memilih meng-upload video klip di Youtube serta membangun komunitas lewat Facebook, My Space dan sebagainya.

Konsistensi dalam mempertahankan aliran musik memang tidak mendongkrak Blingsatan menjadi band populer di negeri ini. Namun konsistensi mereka dalam bermusik  berhasil membawanya masuk nominasi Indonesia Cutting Edge Music Awards (ICEMA) 2010, sebuah penghargaan untuk artis non-mainstream pertama di Indonesia. Blingsatan masuk kategori Favourite Punk/Hardcore Song untuk lagu Matahari Pagi dari album Melodi Emosi. Puncak pemberian penghargaan ini digelar 18 Juli nanti di Jakarta. Grup band ini menjadi perwakilan satu-satunya dari Surabaya.

Menurut salah satu Dewan Kategorisasi, Denny Sakrie, ICEMA 2010 merupakan apresiasi dan penghargaan bagi komunitas musik di Indonesia. Khususnya musik yang dihasilkan oleh komunitas non-mainstream.  “Kami yakin band-band ini memang layak diperkenalkan kepada masyarakat,” kata Denny. (umi)
dikutip dari:http://jatim.vivanews.com/news/read/151488-bertahan_karena_konsisten_lawan_arus_musik

Tidak ada komentar:

Posting Komentar